Manajemen Pendidikan
PARADIGMA PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Nama
: Rahma .L
NIM
: 1435002
Jurusan
: PGMI
Sekolah Tinggi Agama Islam
DDI MAROS
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi,
benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu
tidak boleh dilakukan secara asal-asalan (Didin dan Hendri, 2003:1).[1]
Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan Rumah Tangga sampai dengan
urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah negara semua itu diperlukan
pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar
tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan
efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada
seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang
berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang
pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang
berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas. Pada jalur
pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA),
Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jalur Pendidikan Informal
seperti pendidikan yang diselenggarakan didalam kelurarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau
manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif
tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit
dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang hak itu akan hancur oleh
kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya,
sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :”Kebenaran yang tidak terorganisir
dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti
apakah Pengertian dan Lingkup Praktik Manajemen Pendidikan Islam?
2. Bagaimanakah
Nilai-nilai Dasar Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam?
3. Bagaimanakah
Paradigma keilmuan dan Wilayah kajian Manajemen Pendidkan Islam ?
4. Perlunya
Kerja Sama dalam Manajemen Pendidikan Islam ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk
memahami lebih lanjut pengertian dan ruang lingkup praktik Manajemen Pendidkan
Islam.
2. Untuk
mengembangkan nilai-nilai dasar Manajemen Pendidikan Islam
3. Untuk
mengetahui paradigma keilmuan dan wilayah kajian Manajemen Pendidikan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Lingkup Praktik
Manajemen Pendidikan Islam
Aktivitas
pendidikan islam ada sejak adanya manusian itu sendiri (Nabi Adam dan Ibu
Hawa), bahkan ayat Al-Quar’an yang pertama kali diturunkan Nabi Muhammad SAW.
Adalah bukan perintah tentang shalat, puasa dan lainya, justru perintah Iqra’ (Membaca,
merenungkan, menelaah, meneliti, atau mengakji
) atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari
aktivitas pendidikan. Dari situlah manusia memikirkan, menelaah, dan meneliti
bagaimana pelaksanaan pendidikan itu, sehinggah muncullah pemikiran dan
teori-teori Pendidikan Islam. Karena itu. Abdul Al-Ghani ‘Ubud (1977)
menyatakan bahwa tidak mungkin ada kegiatan pendidikan islam dan sistem
pengajaran islam, tanpa adanya teori-teori atau pemikiran pendidikan islam.
paPandangan tersebut diperkuat oleh Langgulung (1988).
Banyak
defenisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai pendidikan islam, tetapi
penulis intinya ada dua yaitu :
Pertama, Pendidikan islam merupakan
aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan Hasrat dan Niat
untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai islam. Dalam praktiknya di Indonesia,
pendidikan islam ini setidak-tidaknya dapat dikelompokkan kedalam lima jenis,
yaitu :
1. Pondok
Pesantren atau Madrasah Diniyah, yang menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional disebut sebagai pendidikan keagamaan (Islam)
Foramal, seperti Pondok Pesantren / Madrasah Diniyah (Ula, Wustha, ‘Ulya, dan Ma’had ‘Ali);
2. PAUD/RA,BA,TA,
Madrasah, dan Pendidikan Lanjutannya seperti IAIN/STAIN atau Universitas Islam
Negeri yang brnaung dibawah Depatement Agama;
3. Pendidikan
usia dini/RA,BA,TA, Sekolah/Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh dan/atau
berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam;
4. Pelajaran
agama islam di sekolah/ Madrasah/ Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran
atau mata kuliah, dan /atau sebagai program studi; dan
5. Pendidikan
Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum
kajian keislaman, majelis taklim, dan institusi-institusi lainnya yang sekarang
sedang digalakkan oleh masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui jalur
pendidikan nonformal, dan informal.
Kedua,
Pendidikan islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dan disemangati dan
dijiwai oleh ajaran an nilai-nilai islam. Dalam pengertian yang kedua ini,
pendidikan islam bisa mencangkup :
1. Pendidik/
Guru/Dosen/ Kepala Madrasah/ Sekolah atau pemimpin perguruan tinggi dan/atau
tenaga kependidikan lainnya yang melakukan dan mengembangkan aktivitas
kependidikannya disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam;
dan/atau
2. Komponen-konponen
pendidik lainnya, seperti Tujuan, Materi/Bahan ajar, alat/ media/sumber
belajar, metode, evaluasi, lingkungan/ konteks, manajemen, dan lain-lain yang
disemangati dan dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam, atau yang berciri
khas islam.
Dari kedua pengertian pendidikan islam tersebut,
maka pengertian pertama lebih
menekankan pada aspek kelembagaab dan program pendidikan islam, dan yang kedua lebih menekankan pada aspek spirit
islam yang melekat pada setiap aktivitas pendidikan.
Manjemen pada dasarnya merupakan suatu proses
penggunaan sumber daya secara efektif
ubtuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu. Istilah menejemen biasa
dikenal endalam ilmu ekonomi, yang memfokuskan pada profit (Keuntungan) dan komoditas Komersial. Seorang manajer adalah
orang yang menggunakan wewenang dan kebijaksanaan organisasi/ perusahaan untuk
menggerakkan staf dan bawahannya mncapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena
itu, seorang manajer biasanya bertugas untuk mengelola sumber daya fisik yang
berupa Capital (modal), Human skills
(Keterampilan-keterampilan manusia), row materia (Bahan mentah), technology,
agar dapat melahirkan produktivitas, efisiensi, tepat waktu, (sesuai dengan
rencana kerja), dan kualitas.
Berbeda halnya dengan seorang pemimpin (leader),
yang lebih memfokuskan pada visi. Ia berusaha mengajak dan memotivasi staf dan
bawaannya untuk bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu,
seorang pemimpin (Leader), yang berusaha mengelola sumber-sumber emosional dan
spiritual, yang berupa : Values
(nilai-nilai), Commitment
(keberpihakan), dan Aspiration
(aspirasi) staf atau bawahannya, agar dapat melahirkan kebanggaan dan kepuasan
dalam bekerja. Menurut teori manajemen, bahwa manajer yang sukses adalah
manajer yang memiliki unsur kepemimpinan (leadership) dan mampu menerapkan
serta mengembangkannya. Dengan kata lain, manajer yang mampu bertidak sebagai
pemimpin (Manager as a leader).
Manjemen Pendidikan adalah menejemen yang diterapkan
dalam pengembangan pendidikan. Dalam arti, Ia merupakan seni dan ilmu mengelola
sumber daya pendidikan islam untuk mencapai tujuan pendidikan islam secara
efektif dam efisien. Bisa juga didefenisikan sebagai prores perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya pendidikan islam
untuk mencapai tujuan pendidikan islam secara efektif dam efisien. Manajemen pendidikan lebih bersifat umum
untul semua aktivitas pedidikan pada umunya, sedangakan manajemen pendidikan
islam lebih khusus lagi mengarah pada yang diterapkan dalam pengembangan
pendidikan islam. Dlam arti, bagaimana menggunakan dan mengelola sumber daya
pendidikan islam secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pengembangan,
kemajuan dan kualitas proses dan hasil pendidikan islam itu sendiri. Sudah
barang tentu aspek manajer dan leader yang islam atau yang dijiwai oleh ajaran
dan nilai-nilai islam dan / atau yang berciri khas islam, harus melekat pada
manajemen pendidikan islam.
Lembaga pendidikan islam bisa dikategorikan sebagai lembaga
industri mulia, (noble industry) karena
mengemban misi ganda, yaitu profit sekaligus sosial. Misi Profit yaitu, untuk mencapai keuntungan,
ini dapat dicapai ketika efesiensi dan efektivitas dana bisa tercapai, sehingga
pemasukan (income) lebih besar dari
biaya opersasioanal. Misi sosial bertujuan untuk mewariskan dan
menginteralisasikan nilai luhur. Misi kedua ini dapat dicapai secara maksimal
apabila lembaga pendidikan islam tersebut memiliki modal human-capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan
dan efisensi yang tinggi. Itulah sebabnya mengelola lembaga pendidikan Islam
tidak hanya dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga misi niat-suci
dan mental-berlimpah, sama halnya dengan mengelola noble industry yang lain, seperti rumah sakit, panti asuhan,
yayasan sosial, lembaga riset atau kajian, dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM).
Sumber daya pendidikan Islam itu setidak - tidaknya
menyangkut peserta didik, pendidkdan tenaga pendidikan (termasuk di dalamnya
tenaga admininstrasi), kurikulum atau program pendidikan, sarana/prasarana
biaya atau keuangan, informasi, proses belajar mengajar atau pelaksanaan
pendidikan, lingkungan, output dan outcome, serta hubungan
kerjasama/kemitraan dengan stakeholders
dan lain-lain, yang ada pada kelima jenis pendidikan Islam tersebut di atas.
Uraian tersebut menggaris bawahi adanya manajemen
pendidikan Islam, dalam arti manajemen yang diterapkan dalam pengembangan
pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan
dengan hasrat yang dalam praktiknya dalam berwujud manajemen :
1. Pondok
pesantren atau Madrasah Diniyah atau pendidikan keagamaan (islam) formal;
2. PAUD/RA,BA,TA,
Madrasah dan pendidikan lanjutannya seperti IAIN/STAIN atau Universitas Islam
Negeri yang bernaung di bawah Departemen Agama;
3. Pendidikan
usia dini/TK, Sekolah/ Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh dan / atau
berada di bawah naungan yayasan dan organisasi islam;
4. Pelajaran
agama islam di sekolah, Madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran
atau mata kuliah, dan /atau sebagai program studi;
5. Pendidikan
islam di dalam keluarga atau ditempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum
kajian keagamaan, majelis taklim, dan institusi-institusi lainnya yang sekarang
sedang digalakkan oleh masyarakat, atau pendidikan keagamaaan (Islam) melalui
jalur pendidikan nonformal, dan informal.
Di samping itu dapat berarti me-manage pendidikan yang disemangati atau dijiwai olehajaran dan
nilai-nilai islam, yang dalam praktiknya bisa berubah :
1. Pendidik/
Guru/ dosen, Kepala Madrasah/Sekolah atau pimpinan perguruan tinggi dan/ atau
tenaga kependidikan lainnya yang melakukan dan mengembangkan aktivitas
kependidikannya disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam;
2. Komponen-komponen
pendidikan lainnya, seperti tujuan, materi, bahan ajar, alat/media sumber
belajar, metode evaluasi, lingkungan/konteks, dan lain-lain yang disemangati
atau dijiwai oleh ajaran dan lain-lain islam, atau yang berciri khas islam.
B. Nilai-nilai Dasar Pengembangan
Manajemen Pendidikan Islam
Pada uraian terdahulu dijelaskan, bahwa
dalam menejemn pendidikan islam diperlukan dua aspek yang terpadu, yaitu
menyatunya sikap manager dan leader yang berciri khas islam atau yang
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam. Beberapa ajaran dan nilai-nilai
islam yang terkait dengan pengembangan manajemen pendidikan islam adalah
sebagai berikut :
Pertama,
me-manage pendidikan islam di mulai dari
niat sebgai pengejawantahandari hadist Nabi SAW, yaitu : innama al – a’mal bi
al-niyyat (hanyalah segala amal perbuatan itu harus dibarengi dengan niat). Niat adalah sesuatu yang direncanakan dengan sungguh-sungguh dengan knyataan
(perbuatan). Niat ini harus muncul dari hati yang bersih dan suci, jarena
mengharap Ridha dari Allah SWT, serta ditindaklanjuti oleh Mujahadah, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan
niat dengan bentuk amal (perbuatan) dan konsisten dengan sesuatu yang
direncanakan. Setelah niat diwujudkan kemudian dilakukan musahabah, yakni melakukan kontrol dan evaluasi terhadap rencana
yang telah dilakukan. Jika berhasil dan konsisten dengan rencana, maka
hendaklah bersyukur, serta berniat lagi untuk menyusun dan melakanakan
rencana-rencana berikutnya. Sebaliknya jika gagal, dan/atau kurang konsisten
dengan rencana semula, maka segeralalah beristigfar atau bertaubat kepada_Nya
agar diberi kekuatan untuk mewujudkan niatnya tersebut.
Kedua,
Islam adalah agama amal atau kerja (praksis).
Inti ajarannya adalah bahwa hamba mendekati dan memperoleh Ridha Allah melalui
kerja atau amal saleh dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya.
(Qs. Al – Kahfi : 110). Hal ini mengandung makna bahwa islam adalah agama yang
mengajarkan “orientasi kerja” (achievement orientation), sebagaimana juga inyatakan
dalam ungkapan bahwa “penghargaan dalam jahiliah berdasarkan keturunan,
sedangkan penghargaan dalam islam berdasarkan amal” (Madjid, 1995). Tinggi
rendahnya derajat taqwa seseorang juga ditentukan oleh prestasi kerja atau
kualitas amal saleh sebagai aktualisasi dari potensi imamnya.
Nilai-nilai tersebut sepatutnya menjadi
kekuatan pendorong dan etos kerja bakti bagi pengembangan manajemen pendidikan
islam. Etos berasal dari bahasa yunani “Ethos” yang berarti “watak atau
karakter, sikap, dan kebiasaan”. Dari kata “etos” terampil pula kata “etika”
dan “etis” yang mengacu kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yakni
kualitas esensi seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. “Etos
kerja”, berarti karakteristik, sikap atau kebiasaan, kualitas esensial
seseorang atau kelompok (bangsa) dalam bekerja (Muhaimin, et al. 2002).
Ketiga,
uraian
pada poin kedua tersebut menggaris bawahi adanya nilai-nilai esensial yang
perlu ditegakkan atau dijadikan watak, sikap dan kebiasaan seseorang atau
kelompok dalam bekerja (tersmasuk dalam manajemen pendidikan islam), yaitu :
“bekerja me-manage pendidikan islam adalah senagai ibadah yang harus dibarengi
dengan niat yang ikhlas karena mencari Ridha Allah “. Hal ini sejalan dengan
pengertian ibadah yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah (dalam al-Syaikh, 1992),
yaitu : ismun jami’ likulli ma
yahibbuhullahu wa yardlahu min al-aqwa wa al-a’mal al-dhahira wa al-bathinah
(sebutan yang mencangkup segala perkataan /ucapan dan perbuatan/aktivitas, baik
yang dhahir maupun yang batin, yang disukai dan diridohi oleh Allah).
Etos
kerja tersebut mempunyai impikasi sebagai berikut :
1. Bahwa
seseorang (manajer pendidikan islam) tidak boleh bekerja dengan
“sembrono", seenaknya dan acuh tak acauh, sebab hal ini akan berarti
merendahkan makna demi Ridha Allah atau merendahkan Tuhan. Dalam Al- Qur’an
surat al-Kahfi : 110 dinyatakan, yang maksudnya bahwa : “ Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannyam, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.
2. Setiap
orang dinilai dari hasil kerjanya (Qs. Al-Najm : 39), sehingga dalam bekerja
dituntut untuk :
a. Tidak
memandang enteng bentuk-bentuk kerja yang dilakukan.
b. Memberi
makna kepada pekerjaannya itu.
c. Insaf
bahwa kerjaaalah ode of existence (bentuk keberadaan) manusia.
d. Dari
segi dampaknya (baik/buruknya), kerja itu tidaklah untuk Tuhan, tetapi untuk
dirinya sendiri (baca QS. Fushshilat:746 dan luqman:12).
3. Bahwa
seseorang (Manajer Pendidikan Islam) harus bekerja secara optimal dan komitment
terhadap proses dan hasil kerja yang bermutu atau sebaik mungkin, selaras
dengan ajaran ihsan (baca Qs. An-Nahl : 90).
4. Bahwa
seseorang (manajer pendidikan islam) harus bekerja secara efesien dan efektif
atau mempunyai daya guna yang setinggi-tingginya (baca QS. AS-Sajadah:7).
5. Bahwa
seseorang (Manajer Pendidikan Islam) harus mengerjakan sesuatu denga
sungguh-sungguh dan teliti (itqan), dan tidak separuh hati atau
setengah-setengah, sehingga rapi, indah, tertib, dan bersesuain antara satu dengan
yang lainnya dari bagian-bagiannya (QS. An-Naml : 88).
6. Bahwa
seseorang (Manajer Pendidikan Islam) dituntut untuk memilki dinamika yang
tinggi, komitmen terhadap masa depan, memiliki kepekaan terhadap masa depan,
memiliki kepekaan terhadap perkembangan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan bersikap istiqomah (QS. Al-Syarh : 7-8; AT-Dluha:4;al-‘Alaq:1-3;
dan as-SYURA:15).
Di sisi lain, hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa salah satu faktor pendukung dan kunci keberhasilan bagi
sekolah/Madrasah. Sebagaimana penelitian yang dialakukan oleh Edmonds (1979) yang meneliti tentang
sekolah-sekolah yang selalu meningkatkan prestasi kerjanya dipimpin oleh kepala
sekolah yang baik. Hasil penelitian Tobroni (2005) menunjukkan, bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara lembaga
efektif dengan kepemimpinan efektif.
Edmonds juga mengemukakan bahwa
organisasi yang dinamis senangtiasa dipimpin oleh pemimpin yang baik, yaitu
pemimpin yang selalu berupaya meningkatkan prestasinya. Havelock (1973) juga
mengatakan bahwa kepala sekolah adalah sebagai agen perubahan. Fullan (dalam Hopkins & Wideen,
1984) menemukan bahwa kepala sekolah merupakan agen bagi perbaikan sekolah.
Penelitian Rutherford (1974) menyebutkan bahwa kepala sekolah yang efektif
memiliki visi yang jelas, dan mampu menerjemahkannya menjadi sasaran sekolah
yang berkembang menjadi harapan besar dimasa depan yang dipahami, dihayati dan
diwujudkan oleh seluruh warga sekolah. Rutter (1972), Sergiovani (1987),
Greenleaf (1977), Dubin (1991), dan Lipham, menyebutkan bahwa kesuksesan
sekolah sangat ditentukan oleh kualitas kemimipinan kepala sekolah.
Ide-ide atau gagasan tentang etos kerja
yang digali dari wahyu ilahi (ayat-ayat qawliyah) sertya hasil-hasil penelitian
sebagai fenomena Kawniyah tersebut, sepatutnya dijadikan landasan berpijak
dalam berpijak dalam pengembangan menajemen pendidikan islam. Terapannya dapat
berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman, tuntutan kemajuan ilu pengetahuan dan teknologi, serta
perubahan sosial kultural. Era globalisasi misalnya, ditandai dengan dominasi
teknologi komunikasi, dimana kekayaan dan kekuasaan terletak pada sektor
informasi. Teknologi komunikasi berhasil menghilangkan batas ruang dan waktu.
Peristiwa yang terjadi di seluruh dunia memengaruhi reaksi kita, sehingga
bangsa-bangsa secara ekonomi, sosial, dan kultural, menjadi interpenden (saling
bergantung). Karena pertukaran informasi
diantara penduduk dunia berlangsung dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak,
maka eseorang (manajer pendidikan islam) dituntut untuk memiliki kepekaan
terhadap informasi tersebut dan mampu bereaksi dengan cerdas dan cepat, serta
bersikap proaktif agar tidak ketinggalan zaman an kalah dalam persaingan bebas.
C. Paradigma Keilmuan Manajemen
Pemdidikan Islam
Di mana letak dimerkasinya antara
manajemen pendidikan islam dengan pendidikan pada umumnya ? Untuk menjawab
persoalan ini dapat dilihat pada paradigma keilmuannya. Uraian di atas
menjelaskan tentang ajaran dan nilai-nilai islam yang perlu dijadikan acuan, hudan (petunjuk), atau sumber konsultasi
dalam pengembangan manajemen pendidikan islam. Uraian tersebut menggarisbawahi
paradigma manajemen pendidikan islam pada dataran keilmuan adalah menyatukan
ilmu manajen pendidikan dengan wahyu, dan ditampilkan dalam ontologi yang
mendudukkan wahyu (Al- Qur’an dan As-Sunah) sebagai acuan, hudan, dan sumber konsultasi. Pengembangan manajemen pendidikan
islam bergerak secara ontologis dan epistemologis pada dataran membuata tafsir
dan mengujinya ke dalam dataran empiris untuk ditemukan teori-teorimnya.
Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai Manhaj jam’ Bain al-Qira’atain, yakni
memadukan antara qira’ah wahyu (membaca,
memahami, merenungkan, dan menelaah wahyu) dengan qira’ah fenomena kauni
(membaca, menelaah, meneliti, dan mengkaji fenomena alam semesta), termasuk
didalamnya fenomena sosial dan pendidikan di dunia empiris. Dalam membaca dan
memahami wahyu hendaknya melibatkan pemahaman tentang realitas dan teori-teori
alam, sosial, dan sebagainya. Sebaliknya dalam membaca, memahami, dan mengkaji
fenomena alam, sosial dan sebagainya hendaknya dilandasi dengan roh atau spirit
wahyu.
Upaya pengembangan teori manajemen
pendidikan islam selalu diuji koherensinya pada moral religius (Islam). Moral
religius ini merupakan dimensi aksiologinya, yang terkait dengan pahala dan
siksa, sebagai konsekuensi dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai
Khalifah di bumi. Karena itu, ilmu manajemn pendidikan islam bukan untuk profit making semata, sebagaimana konsep
materialisme, tetapi untuk mengangungkan Ama Alla (A-Khaliq) dan menyanyangi
Makhluk-Nya, sedangkan Profit merupakan efek langsung atau pengirim dari upaya
tersebut. Dalam Konteks HAM, justru lebih mendahulukan kewajibannya, untuk
selanjutnya memperoleh dan menerima haknya.
Bekerja
me-manaje institusi pendidikan islam dengan cara :
1. Tidak
sembrono (Jawa), atau tidak bersikap seenaknya, dan acuh tak acuh.
2. Komitmen
terhadap proses dan hasil kerja yang bermutu atau sebaik mungkin.
3. Bekerja
secara efisien dan efektif atau mempunyai daya guna yang setinggi-tingginya.
4. Sungguh-sungguh
dan teliyi (Itqan).
5. Memliki
dinamika yang tinggi.
6. Komitmen
terhadap masa depan.
7. Memiliki
kepekaan terhadap perkembangan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan bersikap istikomah adalah sebagai
perwujudan dari upaya mengagungkan asma Allah (Al- Khaliq).
Tumbuhnya tekad untuk mengembangkan
sumber daya manusia yang unggul, yakni unggul dalam mengelola Sumber daya alam
dan tidak merusak, unggul dalam berprestasi, unggul dalam konsep-konsep
kemasyarakatan, keterampilan, teknologi, seni, dan sebagainya, adalah juga
sebagai perwujudan dari upaya menyayangi makhluk_Nya.
Makna menyayangi institusi pendidikan
islam yang tetinggal, marguinal atau julukan lainnya, bukan berarti hanya
menyantunginya, dengan memberi donatur tetap, tetapi justru lebih menumbuhkan
kemandirian atau peluang maju kepada mereka untuk mau bekerja keras dalam
mengembangkan institusi pendidikan islam, atau menumbuhkan kemampuan produktif
untuk mengurangi ketergantungan pada donasi.
Di sisi lain, pengembangan manajemen
pendidikan islam dapat bertolak dari dunia empiris, sebagamana terwujud dalam fenomena operasional manajemen
pendidikan pada kelima jenis pendidikan islam tersebut di atas. Melalui
penggalian terhadap fenomena tersebut dan dianalisis secara kritis serta
didiskusikan dengan teori-teori yang berkembang dalam manajemen pendidikan pada
umunya, maka akan dapat ditarik dan ditemukan konstruk teoritisnya, untuk
selanjutnya dikonsultasikan kepada ajaran dan nila-nilai mendasar sebagaimana
tercantum dalam wahyu (Al- Qur’an dan As-Sunnah), yang dibangun dari telaah
tematik terhadap wahyu tersebut. Dari
situ akan melahirkan konsep dan atau teori manajemen pendidikan yang
berperspektif islam. Telaah tematik terhadap wahyu tersebut perlu digarisbawahi,
agar tidak terjebak ke dalam cara kerja yang bersifat pragmatis, yakni
mengembangkan pemikiran rasional dan pengalaman empiris manajemen pendidikan
untuk selanjutnya pada titik tertentu berusaha menjadikan nash-nash sebagai
alat justifikasi konsep pemikiran dan pengalaman empiris tersebut.
Cara kerja yang diharapkan adalah vertikal garis penghubung vertikal – horizontal trans lateral, yakni menjadikan
pemikiran para ulama (muslim) sebagai produk pemahaman nash dan mendudukannya
dalam posisi sederajat dengan pemikiran dan teori-teori yang dikembangkan oleh
para ahli menajemen pendidikan pada umunya, sehingga terjadi sharing and theries diantara mereka,
untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada nash/ wahyu ilahi (vertikal) sebgai hudan atau sumber konsultasi.
Dalam sistem manajemen dikenal adanya
fungsi manajemen sebagai planning,
organizing, actuating, dan
controlling. Keempat fungsi ini biasa diterapkan baik dalam manajemen
pendidikan maupun lainnya. Dalam kha zanah Tasawuf, yang bersikap personal, terdapat beberapa komponen yang perlu dimanifestasikan oleh
seseorang untuk malati diri agar cenderung beramal shaleh. Pertama : Niat, yakni sesuatu yang direncanakan dengan
sungguh-sungguh. Menurut pandangan islam, bahwa sdegala amal perbuatan harus
dibarengi dengan niat (Innama al-a’mal bi
al-niyyat). Niat ini harus muncul
dari yang bersih dan suci, karena mengharap Ridha_Nya. Penulis kurang setuju
dengan pendapat yang menyatakan bahwa niat yang baik alaupun belum atau tidak
dilaksanakan akan tetap diberi pahala, sebaliknya niat yang jelek kalau belum
dilaksanakan tidak akan dihukum oleh_Nya. Hal ini kurang sejalan dengan firman
Allah dalam A-Qur’an :”Jika kau tampakkan apa yang ada di dalam diri (Hati)-mu
atau kau sembunyikannya, niscaya Allah akan mengoreksi atau membuat perhitingan
denganmu tentang perbuatanmu itu” (QS. Al-Baqarah : 284).
Menurut M.Quraish Shihab (2000), apayang
tersirat dalam hati itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, yaitu :
1. Hajis,
yakni sesuatu yang terlintas dalam fikiran secara spontan dan berakhir
seketika.
2. Khaathir,
yakni yang terlintas sejenak kemudian berhenti.
3. Hadits
Nafs, Yakni bisikan-bisikan hati yang dari saat ke saat muncul bergejolak.
4. Hamm, yakni kehendak melakukan sesuatu sambil
memikirkan cara-cara pencapaiannya.
5. Azm,
yakni kebulatan tekad setelah rampungna seluruh proses hamm dan dimulainya
langkah awal bagi pelaksanaan. Yang dimaksud dengan menyembunyikan apa yang ada
dalam hati adalah ‘azm itu, sedangkan semua yang ada dalam hati dan belum
mencapai tingkat ‘azm ditoleransi olaeh Allah.
Dilihat
dari tingkatan tersebut, maka niat berada dalam tingkat setelah ‘azm, dalam
arti sesuatu yang direncanakan denga sungguh-sungguh untuk diwujudkan dalam
kenyataan (perbuatan). Kedua,
Mujahadah, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh serta berusaha melakukan
kebaikan atau konsisten dengan sesuatu yang direncanakan. Ketiga,
Muhasabah, yakni melakukan kontrol dan evaluasi diri terhadap rencana yang
telah dilakukan. Jika berhasil dan konsisten dengan rencana, maka hendaklah
bersyukur serta berniat lagi untuk melaksanakan rencana-rencana selanjutnya.
Sebaliknya, jika gagal, dan/ atau tidak konsisten dengan rencana semula, maka
segeralah beristigfar atau bertaubat kepada _Nya sambil memohon pertolongan
kepada_Nya agar diberi kekuatan untuk mewujudkan niatnya tersebut.
Konsep Tasawuf tersebut terkait
dengan manajemen diri (Personal), namib dapat diterapkan dalam konteks amal
sosial, termasuk pula dalam manajemen pendidikan. Jika dikaitkan dengan sistem
manajemen pendidikan makanya tersebut identik dengan Planning, sedangkan mujahadah identik dengan organizing dan actuating dan Musahabah identik dengan controlling. Adanya konsep syukur dan
istiqar atau taubat yang terkandung dalam musahabah atau controlling dalam
penbembangan manajemn pendidikan islam adalah untuk menggambarkan eratnya
hubungan antara pengembanagan teori atau ilmu manajemen pendidikan dengan Allah
(Wahyu) sebagai sumber ilmu, Hudan dan sumber konsultasi.
Bertolak dari uraian tersebut diatas
dapat ditegaskan bahwa objek kajian atau penelitian manajemen pendidikan islam
memilki karakteristik tersendiri, yang berasumsi bahwa sumber segala ilmu
pengetahuan adalah Allah, yang disampaikan melalui pengalaman Batin Nabi
Muhammad SAW. (Wahyu dan intuisi/ilham), yang mewujud dalam bentuk fenomena
qawliyah (Al-Qur’an dan As-Sunnah/ Hadits), serta disampaikan melalui
penciptaan yang mewujud dalam bbentuk fenomena (alam semesta da manusia). Kedua
fenomena tersebut memiliki hubungan konsultatif dan saling menjelaskan, yakni
hasil-hasil penelitian manajemen pendidikan islam yang berasal dari fenomena
kawniyah perlu berkonsultasi dengan fenomena qawliyah. Sebaliknya hasil-hasil penelitian dari
fenomena qawliyah perlu mencari penjelasan dari hasil-hasil penelitian yang
berasal dari fenomena kawniyah. Dari kedua fenomena tersebut dapat digalih dan
dikaji konsep-konsep yang bersifat universal, sehingga melahirkan
pemikiran-pemikiran filosofis dan asas-asas manajemen pendidikan islam, dan
yang kemudian di-break down kedalam
kegiatan-kegiatan eksperimen atau melalui penelitian ilmiah, yang ada
gilirannya melahirkan teori-teori atau ilmu manajemen pendidikan islam.
Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung
pada karakteristik materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman
manusia yang empiris (sensual),
rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris (sensual), maka metode yang digunakan
adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika karakteristik
materinya adalah rasional/aksiomatis, maka metode analisis yang digunakan
adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah hermeneutis, maka
metode yang digunakan adalah Versthen,yakni
untuk menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus,
atau metode reflektif, yakni metode analisis yang prosesnya mondar-mandir
antara yang empiris dengan yang abstrak.
Cara pengembangan ilmu manajemen pendidikan Islam
bisa menggunakan metode penelitian ilmiah (saintifik),
metode penelitian filosofis (kefilsafatan),
dan juga bisa menggunakan metode
penelitian mistik (sufistik). Hal ini tergantung pada apa yang diteliti.
Agaknya ilmu manajemen pendidikan Islam tidak mungkin hanya berisi ilmu (sains)
manajemen pendidikan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertntu memerlukan
teori-teori filosofis, sehingga pengembangannya menggunakan metode penelitian
filosofis. Kadang-kadang juga memerlukan teori-teori yang tidak empiris atau tidak
terjangkau oleh logika, sehingga perlu menggunakan metode penelitian
mistik/sufistik.
Sedangkan cara membangun ilmu manajemen pendidikan
Islam bisa dilakukan dengan cara : Pertama,
cara deduksi, yakni dimulai dari teks wahyu atau sabda rasul, kemudian ditafsirkan,
dari sini muncul teori manajemn pendidikan pada tingkat filsafat, teori itu
dieksperimenkan, dari sini akan muncul
teori pendidikan pada tingkat ilmu. Selanjutnya diuraikan secara lebih
operasional, sehingga langsung dapat dijadikan petunjuk teknis (manual). Kedua, cara induksi konsultasi, dengan
cara seseorang mengambil teori manajemen pendidikan yang sudah ada (baik dari
Barat maupun dari Timur), kemudian dikonsultasikan ke Al-Qur’an dan/atau
Al-Hadis yang tidak sekadar bersifat justifikasi, jika tidak berlawanan, maka
teori itu didaftarkan ke dalam khazanah ilmu pendidikan Islam.
D. Wilayah Kajian/Penelitian
Manajemen Pendidikan Islam
Bertolak
dari paradigma keilmuan tersebut, maka wilayah kajian atau penelitian manajemen
pendidikan Islam yang dapat dikembangkan mencakup: (1) masalah-masalah
fondasional (foundational problems),
terutama menyangkut landasan filosofis, sosiologis, antropologis, psikologis,
dan lain-lain: (2) masalah-masalah struktural (structural problems), yang meliputi dimensi-dimensi struktur
kelembagaannya, masyarakat, jenjang pendidikan, tingkat ekonomi dan lain-lain;
dan (3) masalah – masalah operasional (operational
problems), terutama yang menyangkut praktik manajemen pendidikan islam pada
lingkup jenis-jenis pendidikan islam baik pada aspek kelembagaan maupun
programnya serta segala komponen pendidikan yang dijiwai dan disemangati oleh
ajaran dan nilai-nilai Islam sebagaimana uraian tersebut di atas.
Dengan
demikian, kegiatan penelitian menajemen pendidikan islam akan dapat melahirkan
dan mengembangkan teori-teori sebagai berikut :
1. Teori
manajemen pendidikan agama Islam di rumah tangga karier.
2. Teori
manajemen pendidikan agama Islam di rumah tangga nonkarier.
3. Teori
manajemen pndidikan agama Islam di rumah tangga kelas bawah.
4. Teori
manajemen pendidikan agama Islam di rumah tangga kelas atas .
5. Teori
manajemen pendidikan pondok pesantren tradisional.
6. Teori
manajemen pendidikan pondok pesantren modrn.
7. Teori
pndidikan manajemen pendidikan pesantren kilat.
8. Teori
manajemen pendidikan majelis taklim.
9. Teori
manajemen pendidikan agama Islam untuk khotbah-khotbah.
10. Teori
manajemen pendidikan agama islam untuk kursus-kursus.
11. Teori
manajemen pendidikan agama islam untuk kantor-kantor.
12. Teori
manajemen pendidikan agama islam untuk rumah sakit.
13. Teori
manajemen pendidikan agama islam untuk rumah yatim.
14. Teori
manajemen pendidikan agama islam untuk lembaga-lembaga pemasyarakatan.
15. Teori
manajemen pendidikan agama islam di Sekolah Dasar.
16. Teori
manajemen pendidikan islam di Taman Kanak-kanak.
17. Teori
manajemen pendidikan agama islam di Sekolah Dasar.
18. Teori
manajemen pendidikan Madrasah Ibtidaiyah.
19. Teori
manajemen pendidikan agama Islam di SLTP.
20. Teori
manajemen pendidikan Madrasah Tsanawiyah.
21. Teori
manajemen pendidikan agama Islam di SMU .
22. Teori
manajemen pendidikan Madrasah Aliyah.
23. Teori
manajemen pendidikan agama Islam di SMK .
24. Teori
manajemen pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
25. Teori
manajemen pendidikan PTAI/UIN/PTAIS.
26. Teori
manajemen pendidikan sekolah/PTS di bawah naungan organisasi/yayasan
Islam.
27. Teori
manajemen pendidikan Madrasah Pedesaan.
28. Teori
manajemen pendidikan Madrasah Perkotaan.
29. Teori
manajemen pendidikan Madrasah Diniyah.
30. Teori
manajemen pendidikan TPQ.
31. Teori
manajemen program studi PAI di PTAI/UIN/PTAIS.
32. Teori
manajemen program studi al-Akhwal al-Syakhshiyah. Di PTAI/UIN/PTAIS.
33. Teori
manajemen Kepala Sekolah dalam Perspektif Islam.
34. Dan
seterusnya.
E. Perlunya Kerja Sama dalam
Manajemen Pendidikan Islam
Of
all the problem that confront the muslim world today the educational problem is
the most challengin. The future of the muslim world will dependupon the way it
responds to this challegenge (Demikian kata Khursid
Ahmad), yakni dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap
dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling
menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana dunia islam
menjawab dan memecahkan tantangan ini.
Prof. Dr. Mohammad Abdus salam, salah
seorang ilmuwan muslim dari Pakistan yang telah meraih hadiah Nobel, juga menyatakan: “tidak diragukan
lagi bahwa dari seluruh peradaban di planet ini, sains menempati posisi yang
paling lemah dan benar-benar memprihatinkan di dunia Islam. Tidak terlalu
berlebihan jika dikatakan bahwa kelemahan ini berbahaya karena kelangsungan
hidup suatu masyarakat pada abad ini secara langsung tergantung pada
penguasaannya atas sains dan teknologi”. Selanjutnya ia merupakan dua faktor
utama yang bertanggung jawab atas lemahnya lembaga ilmu pengetahuan yang pernah
jaya dalam Islam”.
Kedua statement tersebut pada dasarnya saling melengkapi, yang menggarisbawahi
perlunya kepedulian para pengembang dan pengelola lembaga yang dihadapi oleh
dunia Islam dewasa ini, terutama menyangkut lemahnya sistem pendidikan Islam
yang produksinya dianggap belum banyak mmberikan konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) pada era globalisasi.
Perkembangan
iptek dan juga budaya hingga saat ini justru lebih banyak didominasi oleh dan
masih berada di tangan para ilmuwan, teknologi dan budayawan yang berasal dari
negara-negara Barat yang humanis-antaroposentris,
seta kurang concern,commitment dan
kurang apresiatif terhadap ajaran dan
nilai-nilai fundamental dari agama yang hanif
dan lebih manusiawi. Sedangkan sistem pendidikan Islam lebih banyak berada pada
posis marginal, perifer, an bahkan
sebagai konsumen belaka.
Rendahnya kualitas pendidikan islam akan
berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu
berkompetisi di dunia global, dan sekaligus akan berdampak pula pada rendahnya
produktivitas (termasuk di dalamnya produktivitas iptek) dan pendapatan para
warga negaranya. Pengembangan iptek di dunia Islam pada era globalisasi juga
merupakan kebutuhan vital untuk menjebatani kesejangan yang mencolok antara
idealitas ajaran dan nilai-nilai Islam (sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an
dan Al-Sunah) dengan realitas pesatnya kemajuan iptek dan akselerasi perubahan
sosial-budaya yang notabene digagas dan didominasi oleh para ilmuwan dan
teknologi nonmuslim.
Respons dan antisipasi terhadap berbagai
problem tersebut agaknya sangat lamban bilamana lembaga pendidikan Islam di Manage seadanya dengan sumber daya yang
dimilikinya, tanpa adanya upaya kebersamaan, persatuan, dan yang dimilikinya,
tanpa adanya upaya kebersamaan, persatuan, dan kerja sama/kemitraan yang saling
menguntungkan antar satu lembaga pendidikan Islam dengan lainnya baik di dalam
negeri maupun dengan negara-negara di dunia Islam dan negara maju pada umumnya.
Atas dasar itulah, maka keberadaan
lembaga pendidikan Islam Indonesia yang menjalin kerja sama dengan lembaga
pendidikan yang terkenal di dunia Islam dan di negara-negara maju pada umumnya,
sebagai perwujudan kerja sama antara negara-negara ASEAN atau negara-negara
maju di dunia, adalah sangat diperlukan adanya sebagai upayapemberdayaan dan
pencerahan sistem pendidikan Islam. Pemberdayaan dan pencerahan sistem
pendidikan Islam. Pemberdayaan dan pencerahan ini tentunya diarahkan pada
pembenahan dan perbaikan sistem pendidikan Islam selaras dengan trend perkembangan kontemporer, sehingga
menjadi suatu model pendidikan Islam,
yang mampu membangun SDM yang berkualitas, sekaligus mampu meningkatkan
kualitas produktivitas dan pendapatan para warga negaranya.
Ciri-ciri kualitas SDM tersebut antara
lain ditujukkan oleh indikator-indikator tampilannya lulusan pendidikan Islam
yang memiliki kekuatan akidah dan spiritual, keunggulan moral, penguasaan ilmu
pengetahuan dan dan teknologi, serta penguasaan keahlian dan kematangan
profesional sesuai dengan standar nasional dan internasional, yang didukung
oleh jasmani yang sehat, dan mampu berkompetisi dengan para lulusan dari
negara-negara lain.
Untuk membangun ciri-ciri lulusan
tersebut, maka lembaga pendidikan Islam serta perguruan tinggi Islam dengan
berbagai program studinya perlu di-manage
dengan tujuan untuk memperkukuh eksistensi lulusannya agar tidak hanya berwawasan
lokal dan nasional, tetapi juga berwawasan regional (antarnegara di Asia) dan
global (internasional). Lembaga pendidikan Islam Indonesia dengan demikian perlu secara aktif berperan
mempersiapkan calon tenaga kerja agar mampu bersaing dengan rekan mereka dari
negara lain. Hal ini sejalan dengan semangat AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area), yang berarti persaingan tenaga kerja
Indonesia harus mampu bersaing secara terbuka dengan tenaga kerja asing dari
berbagai negara. Jika tidak, maka Indonesia akan dibanjiri oleh tenaga kerja
asing dari negarai jiran, seperti Filipina, Bangledes, India, dan sebagainya.
Padahal selama ini tenaga kerja Indonesia sering kali belum mampu bersaing
dengan tenaha kerja asing.
Dengan berkembangnya era globalisasi
tidak bisa dipungkiri akan munculnya berbagai Multi-National Enterprise (MNE), yang pada gilirannya akan merambah
pada Multi-National Higher Education
Enterprise (MNHEE). Bertolak dari pemikiran tersebut, maka pengembangan
lembaga pendidikan Islam, termasuk perguruan tingginya perlu mengatisipasi
hal-hal berikut : (1) perlunya internasionalisasi pendidikan Islam; (2)
perlunya manajemen pendidikan Islam yang berdasarkan kebutuhan pasar kerja; (3)
perlunya manajemen pendidikan Islam secara terpadu antara pendidikan formal dan
nonformal, keterpaduan antara riset, pengajaran, dan pelayanan; (4) perlunya
mengembangkan keterampilan terjual, dalam arti mampu menciptakan dan menawarkan
jenis pelatihan dan konsultasi yang sangat diperlukan oleh institusi-institusi
terkait, users (para pengguna
lulusan) atau stakeholders pada
umumnya; (5) perlunya komersialisasi riset, dalam arti untuk menghimpun sumber
daya yang ada guna kepentingan masyarakat, maka lembaga pendidikan Islam
terutama perguruan tingginya harus mampu memilih dan menawarkan riset apa saja
yang bisa dijual kepada masyarakat; dan (6) agar lembaga pendidikan Islam mampu
memacu dan memasuki abad persaingan yang semakin ketat, maka perlu
mengembangkan program khusus/spesifik sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
·
Pendidikan islam adalah sistem
pendidikan yang dikembangkan dan disemangati dn dijiwai oleh ajaran an
nilai-nilai islam.
·
Manjemen Pendidikan adalah menejemen
yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan. Dalam arti, Ia merupakan seni
dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan islam untuk mencapai tujuan
pendidikan islam secara efektif dam efisien.
·
Upaya pengembangan teori manajemen
pendidikan islam selalu diuji koherensinya pada moral religius (Islam). Moral
religius ini merupakan dimensi aksiologinya., yang terkait dengan pahala dan
siksa, sebagai konsekuensi dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai
Khalifah di bumi.
·
Dalam sistem manajemen dikenal adanya
fungsi manajemen sebagai planning,
organizing, actuating, dan
controlling. Keempat fungsi ini biasa diterapkan baik dalam manajemen
pendidikan maupun lainnya.
·
Cara pengembangan ilmu manajemen
pendidikan Islam bisa menggunakan metode penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis (kefilsafatan), dan juga
bisa menggunakan metode penelitian mistik (sufistik).
B.
SARAN
Demikian yang dapat Saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca
yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin,
et al. Paradigma Pendidikan islam upaya
mengefektifkan pendidikan agama di sekolah, Bandung : Remaja Rosdakarya,
202, et.II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar