Jumat, 07 Agustus 2015

Manajemen Pendidikan
PARADIGMA PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

Nama        : Rahma .L
NIM           : 1435002
Jurusan   : PGMI

Sekolah Tinggi Agama Islam
  DDI MAROS


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan (Didin dan Hendri, 2003:1).[1] Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan Rumah Tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah negara semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas. Pada jalur pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA), Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jalur Pendidikan Informal seperti pendidikan yang diselenggarakan didalam kelurarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang hak itu akan hancur oleh kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :”Kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.

B.  Rumusan Masalah
1.      Seperti apakah Pengertian dan Lingkup Praktik Manajemen Pendidikan Islam?
2.      Bagaimanakah Nilai-nilai Dasar Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam?
3.      Bagaimanakah Paradigma keilmuan dan Wilayah kajian Manajemen Pendidkan Islam ?
4.      Perlunya Kerja Sama dalam Manajemen Pendidikan Islam ?

C.  Tujuan Pembahasan
1.      Untuk memahami lebih lanjut pengertian dan ruang lingkup praktik Manajemen Pendidkan Islam.
2.      Untuk mengembangkan nilai-nilai dasar Manajemen Pendidikan Islam
3.      Untuk mengetahui paradigma keilmuan dan wilayah kajian Manajemen Pendidikan Islam.










BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian dan Lingkup Praktik Manajemen Pendidikan Islam
Aktivitas pendidikan islam ada sejak adanya manusian itu sendiri (Nabi Adam dan Ibu Hawa), bahkan ayat Al-Quar’an yang pertama kali diturunkan Nabi Muhammad SAW. Adalah bukan perintah tentang shalat, puasa dan lainya, justru perintah Iqra’ (Membaca,
 merenungkan, menelaah, meneliti, atau mengakji ) atau perintah untuk mencerdaskan kehidupan manusia yang merupakan inti dari aktivitas pendidikan. Dari situlah manusia memikirkan, menelaah, dan meneliti bagaimana pelaksanaan pendidikan itu, sehinggah muncullah pemikiran dan teori-teori Pendidikan Islam. Karena itu. Abdul Al-Ghani ‘Ubud (1977) menyatakan bahwa tidak mungkin ada kegiatan pendidikan islam dan sistem pengajaran islam, tanpa adanya teori-teori atau pemikiran pendidikan islam. paPandangan tersebut diperkuat oleh Langgulung (1988).
Banyak defenisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai pendidikan islam, tetapi penulis intinya ada dua yaitu :
 Pertama, Pendidikan islam merupakan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan Hasrat dan Niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai islam. Dalam praktiknya di Indonesia, pendidikan islam ini setidak-tidaknya dapat dikelompokkan kedalam lima jenis, yaitu :
1.    Pondok Pesantren atau Madrasah Diniyah, yang menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebut sebagai pendidikan keagamaan (Islam) Foramal, seperti Pondok Pesantren / Madrasah Diniyah (Ula, Wustha, ‘Ulya, dan Ma’had ‘Ali);
2.    PAUD/RA,BA,TA, Madrasah, dan Pendidikan Lanjutannya seperti IAIN/STAIN atau Universitas Islam Negeri yang brnaung dibawah Depatement Agama;
3.    Pendidikan usia dini/RA,BA,TA, Sekolah/Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam;
4.    Pelajaran agama islam di sekolah/ Madrasah/ Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah, dan /atau sebagai program studi; dan
5.    Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum kajian keislaman, majelis taklim, dan institusi-institusi lainnya yang sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan nonformal, dan informal.
Kedua, Pendidikan islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dan disemangati dan dijiwai oleh ajaran an nilai-nilai islam. Dalam pengertian yang kedua ini, pendidikan islam bisa mencangkup :
1.    Pendidik/ Guru/Dosen/ Kepala Madrasah/ Sekolah atau pemimpin perguruan tinggi dan/atau tenaga kependidikan lainnya yang melakukan dan mengembangkan aktivitas kependidikannya disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam; dan/atau
2.    Komponen-konponen pendidik lainnya, seperti Tujuan, Materi/Bahan ajar, alat/ media/sumber belajar, metode, evaluasi, lingkungan/ konteks, manajemen, dan lain-lain yang disemangati dan dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam, atau yang berciri khas islam.
Dari kedua pengertian pendidikan islam tersebut, maka pengertian pertama lebih menekankan pada aspek kelembagaab dan program pendidikan islam, dan yang kedua lebih menekankan pada aspek spirit islam yang melekat pada setiap aktivitas pendidikan.
Manjemen pada dasarnya merupakan suatu proses penggunaan sumber daya secara efektif  ubtuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu. Istilah menejemen biasa dikenal endalam ilmu ekonomi, yang memfokuskan pada profit (Keuntungan) dan komoditas Komersial. Seorang manajer adalah orang yang menggunakan wewenang dan kebijaksanaan organisasi/ perusahaan untuk menggerakkan staf dan bawahannya mncapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, seorang manajer biasanya bertugas untuk mengelola sumber daya fisik yang berupa Capital (modal), Human skills (Keterampilan-keterampilan manusia), row materia (Bahan mentah), technology, agar dapat melahirkan produktivitas, efisiensi, tepat waktu, (sesuai dengan rencana kerja), dan kualitas.
Berbeda halnya dengan seorang pemimpin (leader), yang lebih memfokuskan pada visi. Ia berusaha mengajak dan memotivasi staf dan bawaannya untuk bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, seorang pemimpin (Leader), yang berusaha mengelola sumber-sumber emosional dan spiritual, yang berupa : Values (nilai-nilai), Commitment (keberpihakan), dan Aspiration (aspirasi) staf atau bawahannya, agar dapat melahirkan kebanggaan dan kepuasan dalam bekerja. Menurut teori manajemen, bahwa manajer yang sukses adalah manajer yang memiliki unsur kepemimpinan (leadership) dan mampu menerapkan serta mengembangkannya. Dengan kata lain, manajer yang mampu bertidak sebagai pemimpin (Manager as a leader).
Manjemen Pendidikan adalah menejemen yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan. Dalam arti, Ia merupakan seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan islam untuk mencapai tujuan pendidikan islam secara efektif dam efisien. Bisa juga didefenisikan sebagai prores perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya pendidikan islam untuk mencapai tujuan pendidikan islam secara efektif dam efisien.  Manajemen pendidikan lebih bersifat umum untul semua aktivitas pedidikan pada umunya, sedangakan manajemen pendidikan islam lebih khusus lagi mengarah pada yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan islam. Dlam arti, bagaimana menggunakan dan mengelola sumber daya pendidikan islam secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pengembangan, kemajuan dan kualitas proses dan hasil pendidikan islam itu sendiri. Sudah barang tentu aspek manajer dan leader yang islam atau yang dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam dan / atau yang berciri khas islam, harus melekat pada manajemen pendidikan islam.
Lembaga pendidikan islam bisa dikategorikan sebagai lembaga industri mulia, (noble industry) karena mengemban misi ganda, yaitu profit sekaligus sosial.  Misi Profit yaitu, untuk mencapai keuntungan, ini dapat dicapai ketika efesiensi dan efektivitas dana bisa tercapai, sehingga pemasukan (income) lebih besar dari biaya opersasioanal. Misi sosial bertujuan untuk mewariskan dan menginteralisasikan nilai luhur. Misi kedua ini dapat dicapai secara maksimal apabila lembaga pendidikan islam tersebut memiliki modal human-capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan dan efisensi yang tinggi. Itulah sebabnya mengelola lembaga pendidikan Islam tidak hanya dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga misi niat-suci dan mental-berlimpah, sama halnya dengan mengelola noble industry yang lain, seperti rumah sakit, panti asuhan, yayasan sosial, lembaga riset atau kajian, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sumber daya pendidikan Islam itu setidak - tidaknya menyangkut peserta didik, pendidkdan tenaga pendidikan (termasuk di dalamnya tenaga admininstrasi), kurikulum atau program pendidikan, sarana/prasarana biaya atau keuangan, informasi, proses belajar mengajar atau pelaksanaan pendidikan, lingkungan, output dan  outcome, serta hubungan kerjasama/kemitraan dengan stakeholders dan lain-lain, yang ada pada kelima jenis pendidikan Islam tersebut di atas.
Uraian tersebut menggaris bawahi adanya manajemen pendidikan Islam, dalam arti manajemen yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan  dengan hasrat yang dalam praktiknya dalam berwujud manajemen :
1.      Pondok pesantren atau Madrasah Diniyah atau pendidikan keagamaan (islam) formal;
2.      PAUD/RA,BA,TA, Madrasah dan pendidikan lanjutannya seperti IAIN/STAIN atau Universitas Islam Negeri yang bernaung di bawah Departemen Agama;
3.      Pendidikan usia dini/TK, Sekolah/ Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh dan / atau berada di bawah naungan yayasan dan organisasi islam;
4.      Pelajaran agama islam di sekolah, Madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah, dan /atau sebagai program studi;
5.      Pendidikan islam di dalam keluarga atau ditempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum kajian keagamaan, majelis taklim, dan institusi-institusi lainnya yang sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat, atau pendidikan keagamaaan (Islam) melalui jalur pendidikan nonformal, dan informal.
Di samping itu dapat berarti me-manage pendidikan yang disemangati atau dijiwai olehajaran dan nilai-nilai islam, yang dalam praktiknya bisa berubah :
1.      Pendidik/ Guru/ dosen, Kepala Madrasah/Sekolah atau pimpinan perguruan tinggi dan/ atau tenaga kependidikan lainnya yang melakukan dan mengembangkan aktivitas kependidikannya disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam;
2.      Komponen-komponen pendidikan lainnya, seperti tujuan, materi, bahan ajar, alat/media sumber belajar, metode evaluasi, lingkungan/konteks, dan lain-lain yang disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan lain-lain islam, atau yang berciri khas islam.
B. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam
Pada uraian terdahulu dijelaskan, bahwa dalam menejemn pendidikan islam diperlukan dua aspek yang terpadu, yaitu menyatunya sikap manager dan leader yang berciri khas islam atau yang dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam. Beberapa ajaran dan nilai-nilai islam yang terkait dengan pengembangan manajemen pendidikan islam adalah sebagai berikut :
Pertama, me-manage pendidikan islam di mulai dari niat sebgai pengejawantahandari hadist Nabi SAW, yaitu : innama al – a’mal bi al-niyyat (hanyalah segala amal perbuatan itu harus dibarengi dengan niat). Niat  adalah sesuatu yang direncanakan  dengan sungguh-sungguh dengan knyataan (perbuatan). Niat ini harus muncul dari hati yang bersih dan suci, jarena mengharap Ridha dari Allah SWT, serta ditindaklanjuti oleh Mujahadah, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan niat dengan bentuk amal (perbuatan) dan konsisten dengan sesuatu yang direncanakan. Setelah niat diwujudkan kemudian dilakukan musahabah, yakni melakukan kontrol dan evaluasi terhadap rencana yang telah dilakukan. Jika berhasil dan konsisten dengan rencana, maka hendaklah bersyukur, serta berniat lagi untuk menyusun dan melakanakan rencana-rencana berikutnya. Sebaliknya jika gagal, dan/atau kurang konsisten dengan rencana semula, maka segeralalah beristigfar atau bertaubat kepada_Nya agar diberi kekuatan untuk mewujudkan niatnya tersebut.
Kedua,  Islam adalah agama amal atau kerja (praksis). Inti ajarannya adalah bahwa hamba mendekati dan memperoleh Ridha Allah melalui kerja atau amal saleh dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya. (Qs. Al – Kahfi : 110). Hal ini mengandung makna bahwa islam adalah agama yang mengajarkan “orientasi kerja” (achievement orientation), sebagaimana juga inyatakan dalam ungkapan bahwa “penghargaan dalam jahiliah berdasarkan keturunan, sedangkan penghargaan dalam islam berdasarkan amal” (Madjid, 1995). Tinggi rendahnya derajat taqwa seseorang juga ditentukan oleh prestasi kerja atau kualitas amal saleh sebagai aktualisasi dari potensi imamnya.
Nilai-nilai tersebut sepatutnya menjadi kekuatan pendorong dan etos kerja bakti bagi pengembangan manajemen pendidikan islam. Etos berasal dari bahasa yunani “Ethos” yang berarti “watak atau karakter, sikap, dan kebiasaan”. Dari kata “etos” terampil pula kata “etika” dan “etis” yang mengacu kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yakni kualitas esensi seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. “Etos kerja”, berarti karakteristik, sikap atau kebiasaan, kualitas esensial seseorang atau kelompok (bangsa) dalam bekerja (Muhaimin, et al. 2002).
Ketiga, uraian pada poin kedua tersebut menggaris bawahi adanya nilai-nilai esensial yang perlu ditegakkan atau dijadikan watak, sikap dan kebiasaan seseorang atau kelompok dalam bekerja (tersmasuk dalam manajemen pendidikan islam), yaitu : “bekerja me-manage pendidikan islam adalah senagai ibadah yang harus dibarengi dengan niat yang ikhlas karena mencari Ridha Allah “. Hal ini sejalan dengan pengertian ibadah yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah (dalam al-Syaikh, 1992), yaitu : ismun jami’ likulli ma yahibbuhullahu wa yardlahu min al-aqwa wa al-a’mal al-dhahira wa al-bathinah (sebutan yang mencangkup segala perkataan /ucapan dan perbuatan/aktivitas, baik yang dhahir maupun yang batin, yang disukai dan diridohi oleh Allah).
Etos kerja tersebut mempunyai impikasi sebagai berikut :
1.    Bahwa seseorang (manajer pendidikan islam) tidak boleh bekerja dengan “sembrono", seenaknya dan acuh tak acauh, sebab hal ini akan berarti merendahkan makna demi Ridha Allah atau merendahkan Tuhan. Dalam Al- Qur’an surat al-Kahfi : 110 dinyatakan, yang maksudnya bahwa : “ Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannyam, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.
2.    Setiap orang dinilai dari hasil kerjanya (Qs. Al-Najm : 39), sehingga dalam bekerja dituntut untuk :
a.    Tidak memandang enteng bentuk-bentuk kerja yang dilakukan.
b.    Memberi makna kepada pekerjaannya itu.
c.    Insaf bahwa kerjaaalah ode of existence (bentuk keberadaan) manusia.
d.   Dari segi dampaknya (baik/buruknya), kerja itu tidaklah untuk Tuhan, tetapi untuk dirinya sendiri (baca QS. Fushshilat:746 dan luqman:12).
3.    Bahwa seseorang (Manajer Pendidikan Islam) harus bekerja secara optimal dan komitment terhadap proses dan hasil kerja yang bermutu atau sebaik mungkin, selaras dengan ajaran ihsan (baca Qs. An-Nahl : 90).
4.    Bahwa seseorang (manajer pendidikan islam) harus bekerja secara efesien dan efektif atau mempunyai daya guna yang setinggi-tingginya (baca QS. AS-Sajadah:7).
5.    Bahwa seseorang (Manajer Pendidikan Islam) harus mengerjakan sesuatu denga sungguh-sungguh dan teliti (itqan), dan tidak separuh hati atau setengah-setengah, sehingga rapi, indah, tertib, dan bersesuain antara satu dengan yang lainnya dari bagian-bagiannya (QS. An-Naml : 88).
6.    Bahwa seseorang (Manajer Pendidikan Islam) dituntut untuk memilki dinamika yang tinggi, komitmen terhadap masa depan, memiliki kepekaan terhadap masa depan, memiliki kepekaan terhadap perkembangan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bersikap istiqomah (QS. Al-Syarh : 7-8; AT-Dluha:4;al-‘Alaq:1-3; dan as-SYURA:15).
Di sisi lain, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor pendukung dan kunci keberhasilan bagi sekolah/Madrasah. Sebagaimana penelitian yang dialakukan oleh Edmonds (1979) yang meneliti tentang sekolah-sekolah yang selalu meningkatkan prestasi kerjanya dipimpin oleh kepala sekolah yang baik. Hasil penelitian Tobroni (2005) menunjukkan, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lembaga efektif dengan kepemimpinan efektif. Edmonds juga mengemukakan bahwa organisasi yang dinamis senangtiasa dipimpin oleh pemimpin yang baik, yaitu pemimpin yang selalu berupaya meningkatkan prestasinya. Havelock (1973) juga mengatakan bahwa kepala sekolah adalah sebagai agen perubahan. Fullan (dalam Hopkins & Wideen, 1984) menemukan bahwa kepala sekolah merupakan agen bagi perbaikan sekolah. Penelitian Rutherford (1974) menyebutkan bahwa kepala sekolah yang efektif memiliki visi yang jelas, dan mampu menerjemahkannya menjadi sasaran sekolah yang berkembang menjadi harapan besar dimasa depan yang dipahami, dihayati dan diwujudkan oleh seluruh warga sekolah. Rutter (1972), Sergiovani (1987), Greenleaf (1977), Dubin (1991), dan Lipham, menyebutkan bahwa kesuksesan sekolah sangat ditentukan oleh kualitas kemimipinan kepala sekolah.
Ide-ide atau gagasan tentang etos kerja yang digali dari wahyu ilahi (ayat-ayat qawliyah) sertya hasil-hasil penelitian sebagai fenomena Kawniyah tersebut, sepatutnya dijadikan landasan berpijak dalam berpijak dalam pengembangan menajemen pendidikan islam. Terapannya dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman, tuntutan  kemajuan ilu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan sosial kultural. Era globalisasi misalnya, ditandai dengan dominasi teknologi komunikasi, dimana kekayaan dan kekuasaan terletak pada sektor informasi. Teknologi komunikasi berhasil menghilangkan batas ruang dan waktu. Peristiwa yang terjadi di seluruh dunia memengaruhi reaksi kita, sehingga bangsa-bangsa secara ekonomi, sosial, dan kultural, menjadi interpenden (saling bergantung).  Karena pertukaran informasi diantara penduduk dunia berlangsung dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak, maka eseorang (manajer pendidikan islam) dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap informasi tersebut dan mampu bereaksi dengan cerdas dan cepat, serta bersikap proaktif agar tidak ketinggalan zaman an kalah dalam persaingan bebas.
C. Paradigma Keilmuan Manajemen Pemdidikan Islam
Di mana letak dimerkasinya antara manajemen pendidikan islam dengan pendidikan pada umumnya ? Untuk menjawab persoalan ini dapat dilihat pada paradigma keilmuannya. Uraian di atas menjelaskan tentang ajaran dan nilai-nilai islam yang perlu dijadikan acuan, hudan (petunjuk), atau sumber konsultasi dalam pengembangan manajemen pendidikan islam. Uraian tersebut menggarisbawahi paradigma manajemen pendidikan islam pada dataran keilmuan adalah menyatukan ilmu manajen pendidikan dengan wahyu, dan ditampilkan dalam ontologi yang mendudukkan wahyu (Al- Qur’an dan As-Sunah) sebagai acuan, hudan, dan sumber konsultasi. Pengembangan manajemen pendidikan islam bergerak secara ontologis dan epistemologis pada dataran membuata tafsir dan mengujinya ke dalam dataran empiris untuk ditemukan teori-teorimnya.
Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai Manhaj jam’ Bain al-Qira’atain, yakni memadukan  antara qira’ah wahyu (membaca, memahami, merenungkan, dan menelaah wahyu) dengan qira’ah fenomena kauni (membaca, menelaah, meneliti, dan mengkaji fenomena alam semesta), termasuk didalamnya fenomena sosial dan pendidikan di dunia empiris. Dalam membaca dan memahami wahyu hendaknya melibatkan pemahaman tentang realitas dan teori-teori alam, sosial, dan sebagainya. Sebaliknya dalam membaca, memahami, dan mengkaji fenomena alam, sosial dan sebagainya hendaknya dilandasi dengan roh atau spirit wahyu.
Upaya pengembangan teori manajemen pendidikan islam selalu diuji koherensinya pada moral religius (Islam). Moral religius ini merupakan dimensi aksiologinya, yang terkait dengan pahala dan siksa, sebagai konsekuensi dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai Khalifah di bumi. Karena itu, ilmu manajemn pendidikan islam bukan untuk profit making semata, sebagaimana konsep materialisme, tetapi untuk mengangungkan Ama Alla (A-Khaliq) dan menyanyangi Makhluk-Nya, sedangkan Profit merupakan efek langsung atau pengirim dari upaya tersebut. Dalam Konteks HAM, justru lebih mendahulukan kewajibannya, untuk selanjutnya memperoleh dan menerima haknya.
Bekerja me-manaje institusi pendidikan islam dengan cara :
1.      Tidak sembrono (Jawa), atau tidak bersikap seenaknya, dan acuh tak acuh.
2.      Komitmen terhadap proses dan hasil kerja yang bermutu atau sebaik mungkin.
3.      Bekerja secara efisien dan efektif atau mempunyai daya guna yang setinggi-tingginya.
4.      Sungguh-sungguh dan teliyi (Itqan).
5.      Memliki dinamika yang tinggi.
6.      Komitmen terhadap masa depan.
7.      Memiliki kepekaan terhadap perkembangan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bersikap istikomah adalah sebagai perwujudan dari upaya mengagungkan asma Allah (Al- Khaliq).
Tumbuhnya tekad untuk mengembangkan sumber daya manusia yang unggul, yakni unggul dalam mengelola Sumber daya alam dan tidak merusak, unggul dalam berprestasi, unggul dalam konsep-konsep kemasyarakatan, keterampilan, teknologi, seni, dan sebagainya, adalah juga sebagai perwujudan dari upaya menyayangi makhluk_Nya.
Makna menyayangi institusi pendidikan islam yang tetinggal, marguinal atau julukan lainnya, bukan berarti hanya menyantunginya, dengan memberi donatur tetap, tetapi justru lebih menumbuhkan kemandirian atau peluang maju kepada mereka untuk mau bekerja keras dalam mengembangkan institusi pendidikan islam, atau menumbuhkan kemampuan produktif untuk mengurangi ketergantungan pada donasi.
Di sisi lain, pengembangan manajemen pendidikan islam dapat bertolak dari dunia empiris, sebagamana terwujud  dalam fenomena operasional manajemen pendidikan pada kelima jenis pendidikan islam tersebut di atas. Melalui penggalian terhadap fenomena tersebut dan dianalisis secara kritis serta didiskusikan dengan teori-teori yang berkembang dalam manajemen pendidikan pada umunya, maka akan dapat ditarik dan ditemukan konstruk teoritisnya, untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada ajaran dan nila-nilai mendasar sebagaimana tercantum dalam wahyu (Al- Qur’an dan As-Sunnah), yang dibangun dari telaah tematik  terhadap wahyu tersebut. Dari situ akan melahirkan konsep dan atau teori manajemen pendidikan yang berperspektif islam. Telaah tematik terhadap wahyu tersebut perlu digarisbawahi, agar tidak terjebak ke dalam cara kerja yang bersifat pragmatis, yakni mengembangkan pemikiran rasional dan pengalaman empiris manajemen pendidikan untuk selanjutnya pada titik tertentu berusaha menjadikan nash-nash sebagai alat justifikasi konsep pemikiran dan pengalaman empiris tersebut.
Cara kerja yang diharapkan adalah vertikal garis penghubung vertikal – horizontal trans lateral, yakni menjadikan pemikiran para ulama (muslim) sebagai produk pemahaman nash dan mendudukannya dalam posisi sederajat dengan pemikiran dan teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli menajemen pendidikan pada umunya, sehingga terjadi sharing and theries diantara mereka, untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada nash/ wahyu ilahi (vertikal) sebgai hudan  atau sumber konsultasi.
Dalam sistem manajemen dikenal adanya fungsi manajemen sebagai planning, organizing, actuating, dan controlling. Keempat fungsi ini biasa diterapkan baik dalam manajemen pendidikan maupun lainnya. Dalam kha zanah Tasawuf, yang bersikap personal, terdapat beberapa komponen yang perlu dimanifestasikan oleh seseorang untuk malati diri agar cenderung beramal shaleh. Pertama : Niat, yakni sesuatu yang direncanakan dengan sungguh-sungguh. Menurut pandangan islam, bahwa sdegala amal perbuatan harus dibarengi dengan niat (Innama al-a’mal bi al-niyyat). Niat ini harus muncul dari yang bersih dan suci, karena mengharap Ridha_Nya. Penulis kurang setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa niat yang baik alaupun belum atau tidak dilaksanakan akan tetap diberi pahala, sebaliknya niat yang jelek kalau belum dilaksanakan tidak akan dihukum oleh_Nya. Hal ini kurang sejalan dengan firman Allah dalam A-Qur’an :”Jika kau tampakkan apa yang ada di dalam diri (Hati)-mu atau kau sembunyikannya, niscaya Allah akan mengoreksi atau membuat perhitingan denganmu tentang perbuatanmu itu” (QS. Al-Baqarah : 284).
Menurut M.Quraish Shihab (2000), apayang tersirat dalam hati itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, yaitu :
1.      Hajis, yakni sesuatu yang terlintas dalam fikiran secara spontan dan berakhir seketika.
2.      Khaathir, yakni yang terlintas sejenak kemudian berhenti.
3.      Hadits Nafs, Yakni bisikan-bisikan hati yang dari saat ke saat muncul bergejolak.
4.       Hamm, yakni kehendak melakukan sesuatu sambil memikirkan cara-cara pencapaiannya.
5.      Azm, yakni kebulatan tekad setelah rampungna seluruh proses hamm dan dimulainya langkah awal bagi pelaksanaan. Yang dimaksud dengan menyembunyikan apa yang ada dalam hati adalah ‘azm itu, sedangkan semua yang ada dalam hati dan belum mencapai tingkat ‘azm ditoleransi olaeh Allah.
Dilihat dari tingkatan tersebut, maka niat berada dalam tingkat setelah ‘azm, dalam arti sesuatu yang direncanakan denga sungguh-sungguh untuk diwujudkan dalam kenyataan (perbuatan). Kedua, Mujahadah, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh serta berusaha melakukan kebaikan atau konsisten dengan sesuatu yang direncanakan.  Ketiga, Muhasabah, yakni melakukan kontrol dan evaluasi diri terhadap rencana yang telah dilakukan. Jika berhasil dan konsisten dengan rencana, maka hendaklah bersyukur serta berniat lagi untuk melaksanakan rencana-rencana selanjutnya. Sebaliknya, jika gagal, dan/ atau tidak konsisten dengan rencana semula, maka segeralah beristigfar atau bertaubat kepada _Nya sambil memohon pertolongan kepada_Nya agar diberi kekuatan untuk mewujudkan niatnya tersebut.
            Konsep Tasawuf tersebut terkait dengan manajemen diri (Personal), namib dapat diterapkan dalam konteks amal sosial, termasuk pula dalam manajemen pendidikan. Jika dikaitkan dengan sistem manajemen pendidikan makanya tersebut identik dengan Planning, sedangkan mujahadah identik dengan organizing dan actuating  dan Musahabah identik dengan controlling. Adanya konsep syukur dan istiqar atau taubat yang terkandung dalam musahabah atau controlling dalam penbembangan manajemn pendidikan islam adalah untuk menggambarkan eratnya hubungan antara pengembanagan teori atau ilmu manajemen pendidikan dengan Allah (Wahyu) sebagai sumber ilmu, Hudan dan sumber konsultasi.
            Bertolak dari uraian tersebut diatas dapat ditegaskan bahwa objek kajian atau penelitian manajemen pendidikan islam memilki karakteristik tersendiri, yang berasumsi bahwa sumber segala ilmu pengetahuan adalah Allah, yang disampaikan melalui pengalaman Batin Nabi Muhammad SAW. (Wahyu dan intuisi/ilham), yang mewujud dalam bentuk fenomena qawliyah (Al-Qur’an dan As-Sunnah/ Hadits), serta disampaikan melalui penciptaan yang mewujud dalam bbentuk fenomena (alam semesta da manusia). Kedua fenomena tersebut memiliki hubungan konsultatif dan saling menjelaskan, yakni hasil-hasil penelitian manajemen pendidikan islam yang berasal dari fenomena kawniyah perlu berkonsultasi dengan fenomena qawliyah.  Sebaliknya hasil-hasil penelitian dari fenomena qawliyah perlu mencari penjelasan dari hasil-hasil penelitian yang berasal dari fenomena kawniyah. Dari kedua fenomena tersebut dapat digalih dan dikaji konsep-konsep yang bersifat universal, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran filosofis dan asas-asas manajemen pendidikan islam, dan yang kemudian di-break down kedalam kegiatan-kegiatan eksperimen atau melalui penelitian ilmiah, yang ada gilirannya melahirkan teori-teori atau ilmu manajemen pendidikan islam.
Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung pada karakteristik materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris (sensual), rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris (sensual), maka metode yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika karakteristik materinya adalah rasional/aksiomatis, maka metode analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah hermeneutis, maka metode yang digunakan adalah Versthen,yakni untuk menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus, atau metode reflektif, yakni metode analisis yang prosesnya mondar-mandir antara yang empiris dengan yang abstrak.
Cara pengembangan ilmu manajemen pendidikan Islam bisa menggunakan metode penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis (kefilsafatan),  dan juga bisa menggunakan metode penelitian mistik (sufistik). Hal ini tergantung pada apa yang diteliti. Agaknya ilmu manajemen pendidikan Islam tidak mungkin hanya berisi ilmu (sains) manajemen pendidikan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertntu memerlukan teori-teori filosofis, sehingga pengembangannya menggunakan metode penelitian filosofis. Kadang-kadang juga memerlukan teori-teori yang tidak empiris atau tidak terjangkau oleh logika, sehingga perlu menggunakan metode penelitian mistik/sufistik.
Sedangkan cara membangun ilmu manajemen pendidikan Islam bisa dilakukan dengan cara : Pertama, cara deduksi, yakni dimulai dari teks wahyu atau sabda rasul, kemudian ditafsirkan, dari sini muncul teori manajemn pendidikan pada tingkat filsafat, teori itu dieksperimenkan, dari  sini akan muncul teori pendidikan pada tingkat ilmu. Selanjutnya diuraikan secara lebih operasional, sehingga langsung dapat dijadikan petunjuk teknis (manual). Kedua, cara induksi konsultasi, dengan cara seseorang mengambil teori manajemen pendidikan yang sudah ada (baik dari Barat maupun dari Timur), kemudian dikonsultasikan ke Al-Qur’an dan/atau Al-Hadis yang tidak sekadar bersifat justifikasi, jika tidak berlawanan, maka teori itu didaftarkan ke dalam khazanah ilmu pendidikan Islam.
D. Wilayah Kajian/Penelitian Manajemen Pendidikan Islam
Bertolak dari paradigma keilmuan tersebut, maka wilayah kajian atau penelitian manajemen pendidikan Islam yang dapat dikembangkan mencakup: (1) masalah-masalah fondasional (foundational problems), terutama menyangkut landasan filosofis, sosiologis, antropologis, psikologis, dan lain-lain: (2) masalah-masalah struktural (structural problems), yang meliputi dimensi-dimensi struktur kelembagaannya, masyarakat, jenjang pendidikan, tingkat ekonomi dan lain-lain; dan (3) masalah – masalah operasional (operational problems), terutama yang menyangkut praktik manajemen pendidikan islam pada lingkup jenis-jenis pendidikan islam baik pada aspek kelembagaan maupun programnya serta segala komponen pendidikan yang dijiwai dan disemangati oleh ajaran dan nilai-nilai Islam sebagaimana uraian tersebut di atas.
Dengan demikian, kegiatan penelitian menajemen pendidikan islam akan dapat melahirkan dan mengembangkan teori-teori sebagai berikut :
1.      Teori manajemen pendidikan agama Islam di rumah tangga karier.
2.      Teori manajemen pendidikan agama Islam di rumah tangga nonkarier.
3.      Teori manajemen pndidikan agama Islam di rumah tangga kelas bawah.
4.      Teori manajemen pendidikan agama Islam di rumah tangga kelas atas .
5.      Teori manajemen pendidikan pondok pesantren tradisional.
6.      Teori manajemen pendidikan pondok pesantren modrn.
7.      Teori pndidikan manajemen pendidikan pesantren kilat.
8.      Teori manajemen pendidikan majelis taklim.
9.      Teori manajemen pendidikan agama Islam untuk khotbah-khotbah.
10.  Teori manajemen pendidikan agama islam untuk kursus-kursus.
11.  Teori manajemen pendidikan agama islam untuk kantor-kantor.
12.  Teori manajemen pendidikan agama islam untuk rumah sakit.
13.  Teori manajemen pendidikan agama islam untuk rumah yatim.
14.  Teori manajemen pendidikan agama islam untuk lembaga-lembaga pemasyarakatan. 
15.  Teori manajemen pendidikan agama islam di Sekolah Dasar.
16.  Teori manajemen pendidikan islam di Taman Kanak-kanak.
17.  Teori manajemen pendidikan agama islam di Sekolah Dasar. 
18.  Teori manajemen pendidikan Madrasah Ibtidaiyah. 
19.  Teori manajemen pendidikan agama Islam di SLTP.
20.  Teori manajemen pendidikan Madrasah Tsanawiyah.
21.  Teori manajemen pendidikan agama Islam di SMU  .
22.  Teori manajemen pendidikan Madrasah Aliyah. 
23.  Teori manajemen pendidikan agama Islam di SMK  .
24.  Teori manajemen pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
25.  Teori manajemen pendidikan PTAI/UIN/PTAIS.
26.  Teori manajemen pendidikan sekolah/PTS di bawah naungan organisasi/yayasan Islam. 
27.  Teori manajemen pendidikan Madrasah Pedesaan. 
28.  Teori manajemen pendidikan Madrasah Perkotaan. 
29.  Teori manajemen pendidikan Madrasah Diniyah. 
30.  Teori manajemen pendidikan TPQ. 
31.  Teori manajemen program studi PAI di PTAI/UIN/PTAIS.
32.  Teori manajemen program studi al-Akhwal al-Syakhshiyah. Di PTAI/UIN/PTAIS.
33.  Teori manajemen Kepala Sekolah dalam Perspektif Islam.
34.  Dan seterusnya.

E. Perlunya Kerja Sama dalam Manajemen Pendidikan Islam
Of all the problem that confront the muslim world today the educational problem is the most challengin. The future of the muslim world will dependupon the way it responds to this challegenge (Demikian kata Khursid Ahmad), yakni dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana dunia islam menjawab dan memecahkan tantangan ini.
Prof. Dr. Mohammad Abdus salam, salah seorang ilmuwan muslim dari Pakistan yang telah meraih hadiah Nobel, juga menyatakan: “tidak diragukan lagi bahwa dari seluruh peradaban di planet ini, sains menempati posisi yang paling lemah dan benar-benar memprihatinkan di dunia Islam. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kelemahan ini berbahaya karena kelangsungan hidup suatu masyarakat pada abad ini secara langsung tergantung pada penguasaannya atas sains dan teknologi”. Selanjutnya ia merupakan dua faktor utama yang bertanggung jawab atas lemahnya lembaga ilmu pengetahuan yang pernah jaya dalam Islam”.
Kedua statement tersebut pada dasarnya saling melengkapi, yang menggarisbawahi perlunya kepedulian para pengembang dan pengelola lembaga yang dihadapi oleh dunia Islam dewasa ini, terutama menyangkut lemahnya sistem pendidikan Islam yang produksinya dianggap belum banyak mmberikan konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada era globalisasi.
Perkembangan iptek dan juga budaya hingga saat ini justru lebih banyak didominasi oleh dan masih berada di tangan para ilmuwan, teknologi dan budayawan yang berasal dari negara-negara Barat yang humanis-antaroposentris, seta kurang concern,commitment dan kurang apresiatif terhadap ajaran dan nilai-nilai fundamental dari agama yang hanif dan lebih manusiawi. Sedangkan sistem pendidikan Islam lebih banyak berada pada posis marginal, perifer, an bahkan sebagai konsumen belaka.
Rendahnya kualitas pendidikan islam akan berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu berkompetisi di dunia global, dan sekaligus akan berdampak pula pada rendahnya produktivitas (termasuk di dalamnya produktivitas iptek) dan pendapatan para warga negaranya. Pengembangan iptek di dunia Islam pada era globalisasi juga merupakan kebutuhan vital untuk menjebatani kesejangan yang mencolok antara idealitas ajaran dan nilai-nilai Islam (sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah) dengan realitas pesatnya kemajuan iptek dan akselerasi perubahan sosial-budaya yang notabene digagas dan didominasi oleh para ilmuwan dan teknologi nonmuslim.
Respons dan antisipasi terhadap berbagai problem tersebut agaknya sangat lamban bilamana lembaga pendidikan Islam di Manage seadanya dengan sumber daya yang dimilikinya, tanpa adanya upaya kebersamaan, persatuan, dan yang dimilikinya, tanpa adanya upaya kebersamaan, persatuan, dan kerja sama/kemitraan yang saling menguntungkan antar satu lembaga pendidikan Islam dengan lainnya baik di dalam negeri maupun dengan negara-negara di dunia Islam dan negara maju pada umumnya.
Atas dasar itulah, maka keberadaan lembaga pendidikan Islam Indonesia yang menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan yang terkenal di dunia Islam dan di negara-negara maju pada umumnya, sebagai perwujudan kerja sama antara negara-negara ASEAN atau negara-negara maju di dunia, adalah sangat diperlukan adanya sebagai upayapemberdayaan dan pencerahan sistem pendidikan Islam. Pemberdayaan dan pencerahan sistem pendidikan Islam. Pemberdayaan dan pencerahan ini tentunya diarahkan pada pembenahan dan perbaikan sistem pendidikan Islam selaras dengan trend perkembangan kontemporer, sehingga menjadi suatu model pendidikan Islam, yang mampu membangun SDM yang berkualitas, sekaligus mampu meningkatkan kualitas produktivitas dan pendapatan para warga negaranya.
Ciri-ciri kualitas SDM tersebut antara lain ditujukkan oleh indikator-indikator tampilannya lulusan pendidikan Islam yang memiliki kekuatan akidah dan spiritual, keunggulan moral, penguasaan ilmu pengetahuan dan dan teknologi, serta penguasaan keahlian dan kematangan profesional sesuai dengan standar nasional dan internasional, yang didukung oleh jasmani yang sehat, dan mampu berkompetisi dengan para lulusan dari negara-negara lain.
Untuk membangun ciri-ciri lulusan tersebut, maka lembaga pendidikan Islam serta perguruan tinggi Islam dengan berbagai program studinya perlu di-manage dengan tujuan untuk memperkukuh eksistensi lulusannya agar tidak hanya berwawasan lokal dan nasional, tetapi juga berwawasan regional (antarnegara di Asia) dan global (internasional). Lembaga pendidikan Islam Indonesia  dengan demikian perlu secara aktif berperan mempersiapkan calon tenaga kerja agar mampu bersaing dengan rekan mereka dari negara lain. Hal ini sejalan dengan semangat AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area), yang berarti persaingan tenaga kerja Indonesia harus mampu bersaing secara terbuka dengan tenaga kerja asing dari berbagai negara. Jika tidak, maka Indonesia akan dibanjiri oleh tenaga kerja asing dari negarai jiran, seperti Filipina, Bangledes, India, dan sebagainya. Padahal selama ini tenaga kerja Indonesia sering kali belum mampu bersaing dengan tenaha kerja asing.
Dengan berkembangnya era globalisasi tidak bisa dipungkiri akan munculnya berbagai Multi-National Enterprise (MNE), yang pada gilirannya akan merambah pada Multi-National Higher Education Enterprise (MNHEE). Bertolak dari pemikiran tersebut, maka pengembangan lembaga pendidikan Islam, termasuk perguruan tingginya perlu mengatisipasi hal-hal berikut : (1) perlunya internasionalisasi pendidikan Islam; (2) perlunya manajemen pendidikan Islam yang berdasarkan kebutuhan pasar kerja; (3) perlunya manajemen pendidikan Islam secara terpadu antara pendidikan formal dan nonformal, keterpaduan antara riset, pengajaran, dan pelayanan; (4) perlunya mengembangkan keterampilan terjual, dalam arti mampu menciptakan dan menawarkan jenis pelatihan dan konsultasi yang sangat diperlukan oleh institusi-institusi terkait, users (para pengguna lulusan) atau stakeholders pada umumnya; (5) perlunya komersialisasi riset, dalam arti untuk menghimpun sumber daya yang ada guna kepentingan masyarakat, maka lembaga pendidikan Islam terutama perguruan tingginya harus mampu memilih dan menawarkan riset apa saja yang bisa dijual kepada masyarakat; dan (6) agar lembaga pendidikan Islam mampu memacu dan memasuki abad persaingan yang semakin ketat, maka perlu mengembangkan program khusus/spesifik sesuai dengan potensi yang dimilikinya. 













BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN

·         Pendidikan islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dan disemangati dn dijiwai oleh ajaran an nilai-nilai islam.
·         Manjemen Pendidikan adalah menejemen yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan. Dalam arti, Ia merupakan seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan islam untuk mencapai tujuan pendidikan islam secara efektif dam efisien.
·         Upaya pengembangan teori manajemen pendidikan islam selalu diuji koherensinya pada moral religius (Islam). Moral religius ini merupakan dimensi aksiologinya., yang terkait dengan pahala dan siksa, sebagai konsekuensi dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai Khalifah di bumi.
·         Dalam sistem manajemen dikenal adanya fungsi manajemen sebagai planning, organizing, actuating, dan controlling. Keempat fungsi ini biasa diterapkan baik dalam manajemen pendidikan maupun lainnya.
·         Cara pengembangan ilmu manajemen pendidikan Islam bisa menggunakan metode penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis (kefilsafatan),  dan juga bisa menggunakan metode penelitian mistik (sufistik).

B.       SARAN
Demikian yang dapat Saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, et al. Paradigma Pendidikan islam upaya mengefektifkan pendidikan agama di sekolah, Bandung : Remaja Rosdakarya, 202, et.II.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar